Penegakkan Keadilan
Keadilan dalam syari’at Al Qur’an
memiliki penafsiran yang amat luas, sehingga mencakup seluruh makhluk, bahkan
mencakup keadilan kepada Allah Ta’ala. Yang demikian itu, karena keadilan dalam
syari’at Al Qur’an adalah menunaikan setiap hak kepada
pemiliknya, dan bukan berarti persamaan hak.
Untuk membuktikan apa yang saya utarakan ini, saya mengajar pembaca untuk merenungkan kisah berikut,
Untuk membuktikan apa yang saya utarakan ini, saya mengajar pembaca untuk merenungkan kisah berikut,
“Diriwayatkan
dari ‘Aun bin Abi Juhaifah, dari ayahnya, ia mengkisahkan, Nabi shollallahu
‘alaihi wasallam menjalinkan tali persaudaraan antara Salman Al Farisy
Radhiallahu'anhu dengan Abu Darda’ Radhiallahu'anhu, maka pada suatu hari Salman
Radhiallahu'anhu mengunjungi Abu Darda’ Radhiallahu'anhu, kemudian ia melihat
Ummu Darda’ (istri Abu Darda’) dalam keadaan tidak rapi, maka Salman
Radhiallahu'anhu bertanya kepadanya, Apa yang terjadi pada dirimu? Ummu Darda’
pun menjawab, Saudaramu Abu Darda’ sudah tidak butuh lagi kepada (wanita yang
ada di) dunia. Maka tatkala Abu Darda’ Radhiallahu'anhu datang, iapun langsung
membuatkan untuknya (Salman Radhiallahu'anhu) makanan, kemudian Salman
Radhiallahu'anhu pun berkata, Makanlah (wahai Abu Darda’) Maka Abu Darda’
Radhiallahu'anhu pun menjawab, Sesungguhnya aku sedang berpuasa. Mendengar
jawabannya Salman Radhiallahu'anhu berkata, Aku tidak akan makan, hingga engkau
makan, maka Abu Darda’ Radhiallahu'anhu pun akhirnya makan. Dan tatkala malam
telah tiba, Abu Darda’ Radhiallahu'anhu bangun (hendak shalat malam), melihat
yang demikian, Salman Radhiallahu'anhu berkata kepadanya, Tidurlah, maka iapun
tidur kembali, kemudian ia kembali bangun, dan Salman Radhiallahu'anhu pun
kembali berkata kepadanya, Tidurlah. Dan ketika malam telah hampir berakhir,
Salman Radhiallahu'anhu berkata, Nah, sekarang bangun, dan shalat (tahajjud).
Kemudian Salman Radhiallahu'anhu menyampaikan alasannya dengan berkata,
Sesungguhnya rabb-mu memiliki hak atasmu, dan dirimu memiliki hak atasmu, dan
keluargamu juga memiliki hak atasmu, maka hendaknya engkau tunaikan setiap hak
kepada pemiliknya. Kemudian Abu Darda’ Radhiallahu'anhu datang kepada Nabi
shollallahu ‘alaihi wasallam dan ia menyampaikan kejadian tersebut kepadanya,
dan Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam menjawabnya dengan bersabda, Salman telah
benar.” (HR.
Bukhari)
Dikarenakan keadilan dalam
syari’at Al Qur’an mencakup keadilan kepada Allah Ta’ala, mencakup keadilan
kepada Allah Ta’ala, maka tidak heran bila Allah Ta’ala menyatakan bahwa
perbuatan syirik adalah tindak kelaliman terbesar,
“Dan
orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Baqarah: 254)
Dan pada ayat lain Allah
berfirman,
“Sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar.” (QS. Luqman: 13)
Bila ada yang bertanya apa hak-hak
Allah, sehingga kita dapat menunaikan hak-Nya dan tidak mendzolimi-Nya?
Maka jawabannya dapat dipahami
dari ayat 13 surat Luqman di atas, dan juga lebih tegas lagi disabdakan oleh
Nabi shollallahu
‘alaihi wasallam pada kisah berikut,
Muadz bin
Jabal Radhiallah’anhu menuturkan, “Aku pernah dibonceng Nabi shollallahu ‘alaihi
wasallam mengendarai keledai, lalu beliau Shallallahu’alaihi wasallam bersabda
kepadaku, ‘Wahai Muadz, tahukah kamu, apa hak Allah
atas hamba-Nya, dan apa hak
hamba atas Allah?’ Aku menjawab, ‘Allah dan Rosul-Nya yang lebih mengetahui.’
Beliau Shallallahu’alaihi wasallam pun bersabda, ‘Hak Allah
atas hamba yaitu: supaya mereka beribadah kepada-Nya, dan tidak menyekutukan-Nya
dengan sesuatupun, dan hak
hamba atas Allah yaitu: Allah tidak akan mengazab orang yang tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatupun.’ Lalu aku bertanya, ‘Ya Rasulullah, bolehkah
aku sampaikan kabar gembira ini kepada para manusia?’ Beliau menjawab, ‘Jangan
kamu sampaikan kabar gembira ini, nanti mereka akan bertawakal saja (dan enggan
untuk beramal).” (Muttafaqun ‘alaih)
Keadilan jenis inilah yang pertama
kali harus ditegakkan dan diperjuangkan. Oleh karena itu tatkala Rasulullah
shollallahu ‘alaihi
wasallam bernegoisasi dengan salah satu delegasi orang-orang
Quraisy, yang bernama ‘Utbah bin Rabi’ah pada perjanjian Hudaibiyyah, Rasulullah
shollallahu ‘alaihi
wasallam tidaklah menyeru mereka untuk meninggalkan kelaliman dalam
harta benda, jabatan, atau yang lainnya. Beliau hanya menyeru agar orang-orang
Quraisy meninggalkan kelaliman terhadap Allah Ta’ala. Sehingga tatkala beliau
ditawari oleh ‘Utbah bin Rabi’ah untuk menjadi raja atau diberi harta benda
dengan syarat membiarkan orang-orang Quraisy menyembah berhala mereka, Nabi
shollallahu ‘alaihi
wasallam menolak tawaran tersebut. Marilah kita simak kisah
negoisasi tersebut, sebagaimana diriwayatkan oleh ulama’ ahli sirah,
“Utbah bin
Rabi’ah berkata kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, Wahai keponakanku,
bila yang engkau hendaki dari apa yang engkau lakukan ini adalah karena ingin
harta benda, maka akan kami kumpulkan untukmu seluruh harta orang-orang Quraisy,
sehingga engkau menjadi orang paling kaya dari kami, dan bila yang engkau
hendaki ialah kedudukan, maka akan kami jadikan engkau sebagai pemimpin kami,
hingga kami tidak akan pernah memutuskan suatu hal melainkan atas perintahmu,
dan bila engkau menghendaki menjadi raja, maka akan kami jadikan engkau sebagai
raja kami, dan bila yang menimpamu adalah penyakit (kesurupan jin) dan engkau
tidak mampu untuk mengusirnya, maka akan kami carikan seorang dukun, dan akan
kami gunakan seluruh harta kami untuk membiayainya hingga engkau
sembuh.”
Mendengar tawaran yang demikian
ini, Nabi shollallahu
‘alaihi wasallam tidak lantas menerima salah satu tawarannya berupa
menjadi raja/pemimpin atau diberi kedudukan, sehingga segala Quraisy tidaklah
akan memutuskan sesuatu hal melainkan atas persetujuan beliau shollallahu ‘alaihi
wasallam. Nabi tetap meneruskan perjuangannya memerangi kelaliman
terbesar, yaitu peribadatan kepada selain Allah Subhanahu wata’ala. Oleh karena
itu Nabi shollallahu
‘alaihi wasallam menjawab tawaran orang ini dengan membacakan 13
ayat pertama dari surat Fushshilat,
“Haa Miim.
Diturunkan dari (Rabb) Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kitab yang
dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang
mengetahui, yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi
kebanyakan mereka berpaling (daripadanya); maka mereka tidak (mau) mendengarkan.
Mereka berkata, “Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu
seru kami kepadanya dan di telinga kami ada sumbatan dan di antara kami dan kamu
ada dinding, maka bekerjalah kamu; sesungghnya kami bekerja (pula).” Katakanlah,
“Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku
bahwasanya Ilah kamu adalah Ilah Yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang
lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya. Dan kecelakaan yang
besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya, (yaitu) orang-orang yang
tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh mereka
mendapat pahala yang tiada putus-putusnya.” Katakanlah, “Sesungguhnya patutkah
kamu kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua hari dan kamu adakan
sekutu-sekutu bagi-Nya (Yang bersifat) demikian itulah Rabb semesta alam.” Dan
Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia
memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuninya)
dalam empat hari. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang
bertanya. Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu
Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, “Datanglah kamu keduanya menurut
perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.” Keduanya menjawab, “Kami datang
dengan suka hati”. Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua hari dan Dia
mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat
dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan
sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.
Jika mereka berpaling maka katakanlah, “Aku telah memperingatkan kamu dengan
petir, seperti petir yang menimpa kaum ‘Aad dan kaum Tsamud.” (QS. Fusshilat:
1-13)
Setelah Nabi shollallahu ‘alaihi
wasallam sampai pada ayat ke 13 ini, Utbah bin Rabi’ah berkata
kepada Beliau Shallallahu’alaihi wasallam,
“Cukup sampai
disini, apakah engkau memiliki sesuatu (misi/tujuan) selain ini?
Beliau
shollallahu
‘alaihi wasallam menjawab,
‘Tidak’.” Kisah ini diriwayatkan oleh Abu
Ya’la, Ibnu Hisyam 2/131, Dan Dalail An Nubuwah
oleh Al Asbahani 1/194, dan kisah ini dihasankan oleh Syeikh Al Albani dalam
Fiqhus
Sirah.
Demikianlah Nabi shollallahu ‘alaihi
wasallam memulai perjuangannya menegakkan keadailan, yaitu dimulai
dengan menegakkan keadilan kepada Allah Ta’ala. Bila keadilan ini telah tegak,
barulah keadilan lainnya ditegakkan, sebagaimana yang diwasiatkan oleh
Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wasallam kepada para sahabat yang beliau utus untuk menyeru
masyarakat kala itu kepada keadilan Islam,
“Diriwayatkan
dari sahabat Ibnu Abbas rodhiallahu ‘anhu bahwasannya ketika Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wasallam, mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau bersabda
kepadanya, ‘Sesungguhnya engkau akan mendatangi satu
kaum dari ahli kitab, maka hendaknya pertama kali yang engkau dakwahkan kepada
mereka adalah mengucapkan syahadat (la ilaha illallah) -dan menurut riwayat yang
lain: mentauhidkan (mengesakan) Allah-, Dan bila
mereka menta’atimu dalam hal tersebut, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa
Allah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam, dan bila
mereka menta’atimu dalam hal tersebut, maka
sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka zakat, yang diambil
dari orang-orang kaya dari mereka dan dikembalikan kepada orang-orang miskin
dari mereka. Dan bila mereka menta’atimu dalam hal tersebut, maka jauhilah
olehmu mengambil yang terbaik dari harta mereka (sebagai zakat). Dan takutlah
tehadap do’a orang yang dizolimi, karena sesungguhnya tidak ada penghalang
antaranya dan Allah (untuk di kabulkan do’anya).’” (Muttafaqun
‘alaih)
Dan bila keadilan terbesar ini
telah ditegakkan oleh suatu masyarakat, maka Allah Ta’ala akan melimpahkan
keadilan selainnya kepada mereka, sebagai buktinya mari kita simak firman Allah
Ta’ala berikut,
“Bagaimana aku
takut kepada sembahan-sembahan yang kamu persekutukan (dengan Allah), padahal
kamu tidak takut mempersekutukan Allah dengan sembahan-sembahan yang Allah
sendiri tidak menurunkan hujjah kepadamu untuk mempersekutukan-Nya. Maka manakah
diantara dua golongan itu yang lebih berhak mendapat keamanan (dari malapetaka),
jika kamu mengetahui. Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman
mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat
keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk.” (QS. Al An’aam: 81-82)
Dan mari kita simak pendidikan
Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wasallam kepada saudara sepupunya Abdullah bin ‘Abbas rodhiallahu
‘anhu,
“Jagalah
(syari’at) Allah, niscaya Allah akan menjagamu, jagalah (syari’at) Allah,
niscaya engkau akan dapatkan (pertolongan/perlindungan) Allah senantiasa di
hadapanmu.” (HR. At Tirmizi dan dishahihkan
oleh Al Albani)
Adapun metode penegakan keadilan
sesama manusia, maka syari’at Al Qur’an telah memberikan gambaran indah dan
sempurna sehingga tiada duanya. Diantara salah satu buktinya, simaklah firman
Allah berikut,
”Wahai
orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan
kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan.
Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.
Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu
kerjakan.” (QS. An Nisa’: 135)
Demikianlah syari’at Al Qur’an
dalam menegakkan keadilan. Dan sekarang mari kita bersama-sama merenungkan salah
satu kisah nyata penegakan keadilan dalam Islam berikut ini,
“Dari sahabat
‘Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwasannya kaum Quraisy dibingungkan oleh urusan
seorang wanita dari Kabilah Makhzum yang kedapatan mencuri, maka mereka berkata:
Siapakah yang berani memohonkan keringanan untuknya kepada Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wasallam? Maka Mereka berkata: Siapakah yang berani
melakukannya selain Usamah orang kesayangan Rasululah shollallahu ‘alaihi
wasallamlantas Usamah pun memohonkan keringanan untuknya. Maka Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Apakah engkau akan memohonkan keringanan
pada salah satu hukum had/pidana (ketentuan) Allah? Kemudian beliau berdiri
berkhutbah, lalu bersabda, Wahai para manusia,! Sesungguhnya yang menyebabkan
orang-orang sebelum kalian adalah bila ada dari orang yang terhormat (bangsawan)
dari mereka mencuri maka mereka biarkan (lepaskan) dan bila orang lemah dari
mereka mencuri, maka mereka tegakkan atasnya hukum had. Dan sungguh demi Allah,
seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku akan potong
tangannya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Semakna dengan kisah ini apa yang
disampaikan oleh Khalifah Abu Bakar rodhiallahu ‘anhu
pertama kali beliau dibai’at menjadi khalifah, beliau berkata,
“Ketahuilah
bahwa sesungguhnya orang yang kuat di sisiku adalah orang yang lemah sampai aku
ambil darinya hak (orang lain yang ia rampas) dan orang yang lemah disisiku
adalah orang yang kuat hingga aku ambilkan untuknya haknya.” (HR. Al
Baihaqi)
Dan contoh lain yang serupa dengan
ini ialah kisah yang terjadi pada sahabat Abdullah bin Rawahah rodhiallahu ‘anhu.
Tatkala orang-orang Yahudi Khaibar hendak menyuapnya agar mengurangi kewajiban
upeti yang harus mereka bayarkan kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wasallam maka ia menjawab permintaan mereka ini dengan
ucapannya,
“Wahai
musuh-musuh Allah, apakah kalian akan memberiku harta yang haram?! Sungguh demi
Allah, aku adalah utusan orang yang paling aku cintai (yaitu Rasulullah), dan
kalian adalah orang-orang yang lebih aku benci dibanding kera dan babi. Akan
tetapi kebencianku kepada kalian dan kecintaanku kepadanya (Rasulullah),
tidaklah menyebabkan aku bersikap tidak adil atas kalian. Mendengar jawaban
tegas ini, mereka berkata: Hanya dengan cara inilah langit dan bumi menjadi
makmur.”
(HR. Ahmad, Ibnu Hibban, dan Al Baihaqi)
Bukan hanya sampai di sini
syari’at Al Qur’an menegakkan hak dan keadailan, bahkan keadilan dan kebenaran
dalam syari’at Al Qur’an tidak dapat dibatasi dengan peradilan manusia atau
tingginya tembok pengadilan atau penjara. Keadilan dan hak seseorang dalam Islam
tidak akan dapat dirubah dan digugurkan, walau pengadilan di seluruh dunia telah
memutuskan untuk menguburnya atau menentangnya. Sebagai salah satu buktinya,
mari kita simak bersama kisah berikut,
“Dari Ummu
Salamah radhiallahu ‘anha, dari Nabi shollallahu ‘alaihi wasallambeliau
bersabda, “Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia biasa, dan kalian mengangkat
perselisihan kalian kepadaku, dan mungkin saja sebagian dari kalian lebih pandai
menyampaikan alasannya daripada yang lain (lawannya), kemudian aku memutuskan
untuknya (memenangkan tuntutannya) berdasarkan alasan-alasan yang aku dengar,
maka barang siapa yang aku putuskan untuknya dengan sebagian hak saudaranya,
maka janganlah ia ambil, karena sesungguhnya aku telah memotongkan untuknya
sebongkahan api neraka.” (Muttafaqun ‘alaih)
0 تعليقات